Opini By Khamisna Zulaili
Teringat saya waktu masih duduk dibangku SMP di Kabupaten
Aceh Utara, kebetulan bahasa Indonesia saya kurang bagus dan lumayan kental
dengan logat Aceh karena bahasa keseharian dalam keluarga kami yang sederhana
masih seratus persen bahasa Aceh. Setiap saya bicara dalam bahasa Indonesia
disekolah, teman-teman langsung terbahak-bahak dan satu persatu teman saya
mengeluarkan bermacam ragam ejekan. Lama kelamaan minder juga dibegitukan.
Terlebih lagi ketika memasuki usia SMA, masih di
salah satu SMA di Kabupaten Aceh Utara, anak-anak yang popular disekolah saat
itu kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia saat disekolah. Gaya berbahasa
Indonesia mereka pun mengikuti gaya bahasa orang Medan yang saat itu dianggap
sangat meukota. Karena mereka trend setter disekolah, walhasil gaya
mereka termasuk gaya berbicara dan bahasa mereka banyak diikuti oleh siswa yang
lain.
Pernah suatu ketika saat pelajaran PMP (Pendidikan
Moral Pancasila) yang kebetulan gurunya berasal dari luar Aceh, guru tersebut
melarang kami berbicara bahasa Aceh saat disekolah. Larangan tersebut kemudian
diikuti oleh kebanyakan teman-teman dengan serta merta dan ogah-ogahan jika
diajak komunikasi dalam bahasa Aceh meskipun diluar sekolah padahal mereka
orang Aceh tok-tok. Ngomong dalam
Bahasa Aceh dianggap kampungan, jadi biar gak terlalu berkesan kampungan banyak
kawan-kawan yang jika bicara dalam Bahasa Aceh, logatnya dibuat seperti tidak
bisa berbahasa Aceh dengan benar.
Lulus SMA, Alhamdulillah saya dapat undangan di salah
satu Universitas Negeri di Jawa. Bayangan saya Jawa itu wahh, orang-orangnya
pasti sangat modern dan ngomongnya pake lu gue semua. Gimana nih, sementara
bahasa Indonesia saya sangat EYD apa bisa saya meniru gaya lu gue nya mereka?. Hari
pertama saya menjajakan kaki disana, hal pertama yang bikin saya sangat
terkesan adalah rupanya tidak ada orang yang ngomong pake lu gue disana, yang
ada cuma orang-orang yang menyapa saya pake Bahasa Jawa dikala pertama
berjumpa. (Beda sekali dengan di Aceh, kita pasti akan menyapa orang yang baru
kita temui dalam bahasa Indonesia).
Saat OPSPEK, dalam setiap moment dan memberikan
perintah, panitia selalu menggunakan bahasa Jawa. Saya dan beberapa teman dari
luar Jawa hampir selalu ketinggalan karena tidak mengerti apa yang disampaikan
oleh panitia. Demikian juga dengan teman-teman yang asli Jawa, penduduk
dilingkungan kost, Dosen yang mengajar, hampir rata-rata menggunakan bahasa
Jawa sebagai bahasa utama yang digunakan dalam komunikasi mereka. Tidak ada kesan
malu atau rendah, malah mereka terlihat sangat cinta dan bangga menggunakan
bahasa daerah mereka.
Kemudian
saya berfikir, kenapa di Aceh orang malu berbahasa Aceh (terutama remaja) beda
sekali dengan masyarakat Jawa? Salah siapa
dan tanggung jawab siapa ini? Apa bisa ini disebut sebagai krisis budaya
atau krisis identitas?
Disisi lain, sepanjang perjalanan darat menuju Pulau
Jawa, saya melewati banyak sekali
provinsi di Pulau Sumatera maupun di Pulau Jawa yang bangunannya dibuat memiliki
ciri khas daerah tersebut terutama bangunan-bangunan milik pemerintah dan fasilitas
umum. Sehingga dengan melihat bentuk bangunan kita bisa tahu sekarang kita
berada di provinsi mana tanpa perlu bertanya.
Juga mengenai penggunaan pakaian adat yang
representative untuk digunakan dalam pelaksanaan tugas yang dipakai pada hari
atau moment tertentu, seperti yang telah diterapkan di Jakarta, Bali atau
daerah lainnya di Jawa. Tidak asing kita melihat pegawai negeri, pegawai bank
atau kantor-kantor swasta melakukan tugas pelayanan dalam balutan busana adat
setempat. Selain semakin memeriahkan moment hari yang diperingati, sekaligus
dapat meningkatkan rasa kecintaan dan kebanggaan masyarakat pada adat dan
budaya daerahnya.
Kemudian
saya berfikir, kenapa kantor-kantor maupun fasilitas umum milik Pemerintah Aceh
Utara dan Kota Lhokseumawe yang sedang membangun ini tidak punya ciri khas
daerah dalam seni bangunannya? Kapan ya pakaian adat Aceh dalam format yang
lebih sederhana tetapi tetap mencerminkan nuansa adat Aceh digunakan oleh
minimal instansi pemerintah atau swasta di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe?
Apa
yang salah dengan seni budaya kita sehingga tidak ditampilkan/dilestarikan
sebagai suatu kekayaan seni dan budaya daerah?
Banyak hal yang saya rasa semakin tidak terperhatikan
dalam adat dan budaya di Kabupaten Aceh Utara juga Kota Lhokseumwe. Dulu adalah
sangat memalukan apabila sepasang muda mudi ketahuan saling menyukai namun
sekarang pasangan muda mudi yang sedang bercumbu dikafe atau ditempat umum atau
berpelukan dibelakan sepeda motor bukan hal yang tabu lagi dan dapat ditemui
disetiap kesempatan. Hampir selalu saat saya sedang berada di tempat makan di
Kota Lhokseumawe, saya menjumpai pasangan muda mudi yang sedang bercumbu
layaknya muda mudi di negeri barat sana. Mereka tidak peduli dengan tatapan dan
komentar pengunjung sekitar. Gregetan saya, mana WH? Apa yang harus saya
lakukan dengan tontonan didepan saya saat ini?. Pernah saya laporkan pada
pemilik tempat namun respon yang diberikan sampai sekarang saya masih ingat,
dengan nada mengejek dia bilang “ mbak pengen ya? “. Kabar remaja hamil diluar
nikah, menikah karena telah hamil duluan atau melakukan hubungan suami istri
tanpa ikatan pernikahan telah menjadi berita sehari-hari dilingkungan masyarakat
Aceh Utara dan juga Lhokseumawe saat ini.
Shock
saya dengan keadaan ini, bagaimana dengan generasi Aceh ini kedepan? Salah siapa
dan tanggung jawab siapa ini? Apa yang harus dilakukan dengan dekadensi moral ini?
Mudah-mudahan
mimpi saya melihat masyarakat Aceh, tidak Cuma di Aceh Utara atau di
Lhokseumawe tetapi masyarakat Aceh seluruhnya…suatu saat ureung Aceh nyoe
beutoi-beutoi jeut keu ureung Aceh yang bermartabat karena benar dan sempurna amalan
agamanya, bagus akhlaknya, menjaga harga dirinya serta cinta keu adat dan
budayanya dapat terwujud. Suatu saat dan pasti, INSYAALLAH