google-site-verification: google1e28bac1de21ca35.html google-site-verification: googleabd9a7fe0e6a5f0e.html

Minggu, 10 November 2013

Adat Aceh, Paki DROE NEUH Teuman?

Opini By Khamisna Zulaili

Teringat saya waktu masih duduk dibangku SMP di Kabupaten Aceh Utara, kebetulan bahasa Indonesia saya kurang bagus dan lumayan kental dengan logat Aceh karena bahasa keseharian dalam keluarga kami yang sederhana masih seratus persen bahasa Aceh. Setiap saya bicara dalam bahasa Indonesia disekolah, teman-teman langsung terbahak-bahak dan satu persatu teman saya mengeluarkan bermacam ragam ejekan. Lama kelamaan minder juga dibegitukan.

Terlebih lagi ketika memasuki usia SMA, masih di salah satu SMA di Kabupaten Aceh Utara, anak-anak yang popular disekolah saat itu kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia saat disekolah. Gaya berbahasa Indonesia mereka pun mengikuti gaya bahasa orang Medan yang saat itu dianggap sangat meukota. Karena mereka trend setter disekolah, walhasil gaya mereka termasuk gaya berbicara dan bahasa mereka banyak diikuti oleh siswa yang lain.

Pernah suatu ketika saat pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang kebetulan gurunya berasal dari luar Aceh, guru tersebut melarang kami berbicara bahasa Aceh saat disekolah. Larangan tersebut kemudian diikuti oleh kebanyakan teman-teman dengan serta merta dan ogah-ogahan jika diajak komunikasi dalam bahasa Aceh meskipun diluar sekolah padahal mereka orang Aceh tok-tok. Ngomong dalam Bahasa Aceh dianggap kampungan, jadi biar gak terlalu berkesan kampungan banyak kawan-kawan yang jika bicara dalam Bahasa Aceh, logatnya dibuat seperti tidak bisa berbahasa Aceh dengan benar.

Lulus SMA, Alhamdulillah saya dapat undangan di salah satu Universitas Negeri di Jawa. Bayangan saya Jawa itu wahh, orang-orangnya pasti sangat modern dan ngomongnya pake lu gue semua. Gimana nih, sementara bahasa Indonesia saya sangat EYD apa bisa saya meniru gaya lu gue nya mereka?. Hari pertama saya menjajakan kaki disana, hal pertama yang bikin saya sangat terkesan adalah rupanya tidak ada orang yang ngomong pake lu gue disana, yang ada cuma orang-orang yang menyapa saya pake Bahasa Jawa dikala pertama berjumpa. (Beda sekali dengan di Aceh, kita pasti akan menyapa orang yang baru kita temui dalam bahasa Indonesia).

Saat OPSPEK, dalam setiap moment dan memberikan perintah, panitia selalu menggunakan bahasa Jawa. Saya dan beberapa teman dari luar Jawa hampir selalu ketinggalan karena tidak mengerti apa yang disampaikan oleh panitia. Demikian juga dengan teman-teman yang asli Jawa, penduduk dilingkungan kost, Dosen yang mengajar, hampir rata-rata menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa utama yang digunakan dalam komunikasi mereka. Tidak ada kesan malu atau rendah, malah mereka terlihat sangat cinta dan bangga menggunakan bahasa daerah mereka.

Kemudian saya berfikir, kenapa di Aceh orang malu berbahasa Aceh (terutama remaja) beda sekali dengan masyarakat Jawa? Salah siapa  dan tanggung jawab siapa ini? Apa bisa ini disebut sebagai krisis budaya atau krisis identitas?

Disisi lain, sepanjang perjalanan darat menuju Pulau Jawa, saya melewati  banyak sekali provinsi di Pulau Sumatera maupun di Pulau Jawa yang bangunannya dibuat memiliki ciri khas daerah tersebut terutama bangunan-bangunan milik pemerintah dan fasilitas umum. Sehingga dengan melihat bentuk bangunan kita bisa tahu sekarang kita berada di provinsi mana tanpa perlu bertanya.

Juga mengenai penggunaan pakaian adat yang representative untuk digunakan dalam pelaksanaan tugas yang dipakai pada hari atau moment tertentu, seperti yang telah diterapkan di Jakarta, Bali atau daerah lainnya di Jawa. Tidak asing kita melihat pegawai negeri, pegawai bank atau kantor-kantor swasta melakukan tugas pelayanan dalam balutan busana adat setempat. Selain semakin memeriahkan moment hari yang diperingati, sekaligus dapat meningkatkan rasa kecintaan dan kebanggaan masyarakat pada adat dan budaya daerahnya.

Kemudian saya berfikir, kenapa kantor-kantor maupun fasilitas umum milik Pemerintah Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe yang sedang membangun ini tidak punya ciri khas daerah dalam seni bangunannya? Kapan ya pakaian adat Aceh dalam format yang lebih sederhana tetapi tetap mencerminkan nuansa adat Aceh digunakan oleh minimal instansi pemerintah atau swasta di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe?
Apa yang salah dengan seni budaya kita sehingga tidak ditampilkan/dilestarikan sebagai suatu kekayaan seni dan budaya daerah?

Banyak hal yang saya rasa semakin tidak terperhatikan dalam adat dan budaya di Kabupaten Aceh Utara juga Kota Lhokseumwe. Dulu adalah sangat memalukan apabila sepasang muda mudi ketahuan saling menyukai namun sekarang pasangan muda mudi yang sedang bercumbu dikafe atau ditempat umum atau berpelukan dibelakan sepeda motor bukan hal yang tabu lagi dan dapat ditemui disetiap kesempatan. Hampir selalu saat saya sedang berada di tempat makan di Kota Lhokseumawe, saya menjumpai pasangan muda mudi yang sedang bercumbu layaknya muda mudi di negeri barat sana. Mereka tidak peduli dengan tatapan dan komentar pengunjung sekitar. Gregetan saya, mana WH? Apa yang harus saya lakukan dengan tontonan didepan saya saat ini?. Pernah saya laporkan pada pemilik tempat namun respon yang diberikan sampai sekarang saya masih ingat, dengan nada mengejek dia bilang “ mbak pengen ya? “. Kabar remaja hamil diluar nikah, menikah karena telah hamil duluan atau melakukan hubungan suami istri tanpa ikatan pernikahan telah menjadi berita sehari-hari dilingkungan masyarakat Aceh Utara dan juga Lhokseumawe saat ini.

Shock saya dengan keadaan ini, bagaimana dengan generasi Aceh ini kedepan? Salah siapa dan tanggung jawab siapa ini? Apa yang harus dilakukan dengan dekadensi moral ini?

Mudah-mudahan mimpi saya melihat masyarakat Aceh, tidak Cuma di Aceh Utara atau di Lhokseumawe tetapi masyarakat Aceh seluruhnya…suatu saat ureung Aceh nyoe beutoi-beutoi jeut keu ureung Aceh yang bermartabat karena benar dan sempurna amalan agamanya, bagus akhlaknya, menjaga harga dirinya serta cinta keu adat dan budayanya dapat terwujud. Suatu saat dan pasti, INSYAALLAH